Pencarian

Minggu, 26 Desember 2010

MEMBEDAKAN ANTARA KETEGASAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)


MEMBEDAKAN ANTARA KETEGASAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin

Pembicaraan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi topik yang belakangan hangat dibicarakan. Media massa, lembaga swadaya masyarakat khususnya yang mengusung isu gender, lembaga bantuan hukum dan lembaga peradilan begitu tersibukkan dengan topik yang sebenarnya lama ini. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan sebuah undang–undang khusus Antikekerasan dalam Rumah Tangga.

Pembicaraan tentang KDRT yang terjadi di masyarakat kadang mengandung kebenaran. Tapi tidak jarang pembicaraan tersebut bermuatan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang luhur. Isu KDRT tidak jauh dari induk semangnya, yaitu isu hak asasi manusia (HAM) yang dikomentari oleh Mufti Kerajaan Saudi Arabia Syaikh 'Abdul-Aziz bin 'Abdullah Alu Syaikh -hafizhahullah- dengan mengatakan: "Sesungguhnya isu tentang HAM di berbagai belahan dunia pada zaman ini adalah kalimat haq urida biha bathil (kalimat yang benar, tapi dimaksudkan untuk hal yang salah)''.

Yang menjadi kewajiban seorang muslim adalah kembali kepada petunjuk yang telah digariskan oleh Islam dalam setiap aspek kehidupan. Islam dengan kesempurnaannya tidak melalaikan aspek ini. Kedudukan antara suami, isteri dan anggota keluarga yang lain telah dijelaskan dalam agama kita. Demikian juga dengan hak dan kewajiban serta aturan-aturan yang harus diikuti oleh masing-masing.

Tulisan ini berusaha mendudukkan masalah KDRT pada tempatnya, dengan merujuk kepada Al-Qur`aan dan as-Sunnah dan penjelasan para ulama. Pada hakikatnya, pembicaraan tentang KDRT mencakup hubungan suami dengan isteri, orang tua dengan anak, dan majikan dengan dengan pekerja. Namun tulisan ini hanya akan menyoroti yang pertama saja, yaitu berkenaan hubungan antara suami dengan isteri.

Ketegasan kadang mengandung unsur kekerasan. Dalam batas-batas tertentu, unsur kekerasan tersebut dibolehkan secara syar'i. Dalam tulisan ini, ketegasan yang dimaksud, yaitu sikap tegas yang dalam Islam boleh dilakukan untuk mengatur kehidupan rumah tangga, meskipun kadang mengandung unsur kekerasan. Adapun KDRT dimaksudkan sebagai hal-hal yang secara syar'i dilarang dilakukan untuk keperluan tersebut.

KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DALAM KELUARGA
Islam menjadikan suami sebagai kepala keluarga. Allah Ta'ala berfirman:

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka" [an-Nisâ`/4:34]

Ketika menafsirkan ayat ini, al-Alusi berkata: "Tugas mereka (para suami) adalah mengurus para isteri sebagaimana penguasa mengurus rakyat dengan perintah, larangan dan sebagainya".[1]

Sedangkan al-Qurthubi berkata: "قََوَّام adalah wazan فَعَّال –yang dipakai untuk mubalaghah (memberi makna lebih)- dari ) القيام على الشيءmengurusi sesuatu), dan menguasai sendiri (istibdad) urusannya, serta memiliki hak menentukan dalam menjaganya. Maka kedudukan suami dari isterinya ialah sampai pada batasan ini, yaitu mengurusnya, mendidiknya, berhak menahannya di rumah, melarangnya keluar, dan isteri wajib taat serta menerima perintahnya selama itu bukan maksiyat".[2]

HAK DAN TUGAS SUAMI DALAM RUMAH TANGGA

Islam telah menjelaskan hak masing-masing suami dan isteri. Syariat Islam memberikan suami hak yang besar atas isterinya. Sampai-sampai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ.

"Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan para isteri untuk sujud kepada para suami mereka, karena besarnya hak yang Allah berikan kepada para suami atas mereka" [HR Abu Dawud, 2142. At-Tirmidzi, 1192; dan Ibnu Majah 1925. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa`ul-Ghalil, 7/54]


Demikianlah Islam mendudukkan, dan inilah jalan kebahagiaan. Sebuah keluarga akan bahagia jika memahami dan mengikuti petunjuk ini. Pasangan yang serasi ialah pasangan yang membangun hubungan mereka di atas pilar ini. Sebaliknya, emansipasi yang banyak diserukan banyak kalangan pada zaman ini hanyalah fatamorgana yang seakan indah di mata, namun pahit dirasa; karena menyelisihi sunnah yang telah diatur oleh Sang Pencipta.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas hak-hak suami secara panjang lebar. Namun kiranya perlu disebut beberapa contoh untuk menggambarkan besarnya hak tersebut, sehingga kita bisa mengukur hal-hal apa saja yang bisa dikategorikan sebagai KDRT.

Di antara hak suami, yaitu wajibnya isteri untuk menaatinya, termasuk ketika suami mengajak berhubungan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

"Jika seorang suami mengajak isterinya berhubungan dan isteri menolak, lalu suami marah kepadanya sepanjang malam, para malaikat melaknat isteri itu sampai pagi" [HR al-Bukhâri, 5193, dan Muslim, 1436]

Hadits ini menunjukkan, menolak ajakan suami untuk berhubungan tanpa udzur merupakan dosa besar. Hingga seorang isteri tidak boleh berpuasa sunat saat suaminya ada, tanpa seijin suami. Juga tidak boleh mengijinkan orang lain masuk rumah tanpa ijin suami, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه

"Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa[3], sedangkan suaminya hadir, kecuali dengan ijinnya. Dan ia tidak boleh mengijinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya"[4] [HR al-Bukhâri, 5195, dan Muslim, 1026]


Tentunya hak-hak di atas tidak dapat diwujudkan tanpa tugas dan kewajiban setiap pasangan suami istri. Khususnya suami yang berkedudukan sebagai kepala rumah tangga yang memimpin lajunya bahtera rumah tangga. Di antara tugas terpenting suami, ialah membimbing istri dan keluarganya meraih keridhaan Allah dengan menerapkan syariat dalam semua aspek kehidupan keluarga. Membimbing dan mengarahkan sang istri untuk berjalan lurus di atas syari'at, meluruskan kesalahan dan nusyuz (sikap melanggar kewajiban) yang mungkin terjadi padanya
.
Tidak dapat dipungkiri, dalam kehidupan suatu rumah tangga terkadang muncul polemik dan problem yang muncul dari istri atau suami sendiri. Disinilah peran dan tugas suami dalam menanggulangi dan mengobatinya sehingga tidak membuat rumah tangganya pecah berantakan. Kedewasaan dan kepiawaian suami dalam menghadapinya memberikan pengaruh dalam kesinambungan dan keutuhan rumah tangga tersebut. Terkadang kelembutan menjadi solusi pemecahannya, dan terkadang juga diperlukan ketegasan maupun sedikit hukuman dalam menghilangkannya atau mengurangi bahaya yang mungkin muncul dari problem tersebut. Disinilah sang suami harus mengetahui batas kelembutan dan ketegasan dalam mengahadapi problem hubungan rumah tangga.

PENTINGNYA KETEGASAN SUAMI
Di atas telah dibahas tentang kedudukan suami dalam rumah tangga dan tugasnya. Tentunya hal seperti ini memerlukan ketegasan, agar kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik, sebagaimana seorang penguasa harus memiliki ketegasan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Tanpa ketegasan, bisa jadi anggota keluarga akan meremehkan aturan-aturan dan norma dalam keluarga. Kehidupan rumah tangga menjadi tidak teratur, sehingga hilanglah hikmah yang dimaksudkan dari disyariatkannya kepemimpinan dalam keluarga. Keberadaan suami dan bapak menjadi tidak ada artinya. Dengan demikian, tidak terwujudkan tanggung jawab yang diamanatkan sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِى مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ - قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ - وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Setiap dari kalian adalah penanggung jawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggungjawabnya. Penguasa adalah penanggung jawab atas rakyatnya, dan akan ditanya tentangnya. Suami menjadi penanggung jawab dalam keluarganya, dan akan ditanya tentangnya. Isteri adalah penanggung jawab di rumah suaminya, dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Pembantu bertanggung jawab atas harta tuannya dan akan ditanya tentangnya," (Ibnu Umar berkata: dan saya kira Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkata): "Dan anak adalah penanggung jawab atas harta bapaknya dan akan ditanya tentangnya, dan setiap kalian adalah penanggung jawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggung jawabnya". [HR al-Bukhâri, 893, dan Muslim, 4828]


Hendaklah setiap muslim merenungkan hadits ini dan mengamalkannya dengan bertanggung jawab atas setiap amanat yang diemban, dan menyiapkan jawaban untuk pertanyaan Allah pada hari saat harta dan keturunan tiada lagi berguna. Allahumma sallim sallim.

BENTUK KETEGASAN SUAMI
Ketegasan yang dilakukan suami dan kepala keluarga harus melihat kepada manfaat dan permasalahan yang terjadi. Juga jangan sampai berlebihan, sehingga justru berbuah kekerasan. Jadikanlah ketegasan tersebut sebagai obat dalam mencegah munculnya nusyuz dan pelanggaran syari'at dalam rumah tangga. Jangan sampai suami membiarkan istri berbuat pelanggaran agama hanya dengan dalih khawatir melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sebab membiarkan istri berbuat maksiat tanpa ada teguran dan tindakan terapinya merupakan perbuatan tercela dan diancam Allah dengan siksaan yang berat. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوثُ

"Tiga orang yang Allah tidak melihat mereka pada hari Kiamat, (yaitu) orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai lelaki (tomboy) dan ad-dayûts" [HR an-Nasâ`i, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah, 2/229].

Tentang ad-dayyûts ini, telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau ditanya:

يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَّا مُدْمِنُ الْخَمْرِ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَمَا الدَّيُّوْثُ قَالَ الَّذِيْ لاَ يُبَالِيْ مَنْ دَخَلَ عَلَى أَهْلِهِ

"Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, adapun pecandu khamr, kami telah mengerti. Akan tetapi apa yang dimaksud ad-dayûts itu?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Dia ialah (laki-laki) yang tidak memperdulikan siapa yang menemui istrinya". [HR ath-Thabrani dan dishahîhkan Syaikh al-Albaani dalam Shahîh at-Targhib wat-Tarhib, no. 2071 (2/227)]

Lebih tegas lagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَ الدَّيُّوْثُ الَّذِيْ يُقِرُّ فِيْ أَهْلِهِ الْخَبَثَ .

"Dan ad-dayûts, ialah yang membiarkan kemaksiatan dalam keluarganya". [HR Ahmad dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jami' ash-Shaghir, no. 5363]

Melarang istri dari perbuatan dosa dan maksiat termasuk ketegasan suami dan bukan termasuk KDRT, walaupun terkadang nampak mengekang kebebasan istri. Demikian juga termasuk ketegasan suami ialah menghukum istri bila melanggar.

BILAMANA SUAMI MENGHUKUM ISTERI?
Secara faktual, sangat jarang bahkan mungkin tidak ada; sebuah keluarga berjalan tanpa adanya percikan problem atau permasalahan. Oleh karena itu, kita dituntut untuk siap menghadapi berbagai guncangan yang timbul. Tak jarang istri melakukan pelanggaran, sehingga membuat sang suami merasa tidak nyaman, gelisah atau marah. Disinilah Allah menjelaskan bolehnya suami menghukum istri, sebagaimana dalam firman-Nya:

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" [an-Nisâ`/4:34]

Al-Alûsi berkata: "Ayat di atas dipakai untuk berdalil bahwasanya seorang suami boleh menghukum isteri dan melarangnya keluar rumah, dan bahwasanya seorang isteri wajib taat kepadanya kecuali jika (suami) memerintahnya berbuat maksiat kepada Allah".

Hukuman itu bisa berupa mendiamkannya atau memukulnya dalam batas-batas yang telah diatur Islam. Hal ini dimaksudkan agar isteri kembali kepada jalan yang benar, sebagaimana sebagian rakyat juga tidak menjadi baik kecuali jika hukuman diterapkan.

SALING MENASIHATI, DAN MEMULAI DENGAN HUKUMAN YANG PALING RINGAN
Terjadinya kesalahan merupakan hal yang lumrah terjadi pada anak Adam, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun yang lain. Untuk itu Islam mengajarkan umatnya untuk saling mengingatkan, saling menasihati dan amar ma'ruf nahi munkar.

Saling menasihati sebagai perwujudan bukti cinta yang hakiki. Karenanya orang-orang terdekat ialah yang paling berhak mendapatkannya. Sebuah keluarga muslim harus membiasakan diri dengan sunnah ini.

Jika isteri salah dengan tidak taat kepada suami misalnya, suami diperintahkan untuk menasihatinya terlebih dahulu. Allah Ta'ala berfirman:

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz, maka nasihatilah mereka, diamkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" [an-Nisâ`/4:34]

Nusyuz ialah meninggalkan ketaatan kepada suami atau menentangnya, baik dengan perkataan maupun perbuatan[5]. Syaikh Abdur-Rahman as-Sa'di berkata: "Hendaklah ia menghukumnya dengan hukuman yang paling ringan dahulu, dimulai dengan menasihatinya, yaitu dengan menjelaskan hukum Allah tentang ketaatan-ketaatan kepada suami, juga hukum menentangnya, menyemangatinya untuk taat, dan menakutinya dari maksiat".[6]

MENDIAMKAN ISTERI
Jika isteri kembali kepada ketaatan dengan nasihat saja, maka itulah yang diharapkan, wal-hamdulillah. Jika tidak, suami dibolehkan untuk mendiamkan (hajr) isterinya seperti diperintahkan dalam ayat di atas. Bagi sebagian wanita, model hajr seperti ini bisa sangat tepat untuk mengembalikan mereka kepada ketaatan. Mereka merasa sangat terpukul saat didiamkan suami dan tidak diajak berhubungan. Namun sebaiknya hal tersebut dilakukan di dalam rumah saja, sebagaimana disebutkan dalam hadits Hakam bin Mu'awiyah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ولا يهجُرْ إلا في البيت

"Hendaknya suami tidak mendiamkan isterinya kecuali di rumah". [HR Abu Daawud, an-Nasaa`i dan Ibnu Maajah. Dishahîhkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim dan Syaikh al-Albâni].

Maksudnya, ialah mendiamkannya, tetapi keduanya tetap satu rumah; suami tidak meninggalkan rumah atau mengusir isterinya ke rumah lain.

Dikisahkan, saat marah kepada salah satu isterinya yang kebetulan mendapat giliran bermalam (mabit), 'Umar bin 'Abdul-'Aziz, tetap bermalam di rumahnya, tetapi ia tidak berbicara dengan isterinya dan tidak menatapnya[7]. Hal ini karena mendiamkan isteri dengan keluar rumah sangat menyakitkan. Seorang isteri bisa merasa sangat sedih ketika ditinggal suaminya untuk suatu keperluan, apalagi jika hal itu dilakukan sebagai hukuman[8]. Kecuali jika diperlukan, boleh bagi suami untuk mendiamkan isterinya dengan keluar rumah, sebagaimana dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Al-Bukhaari berkata:

باب هِجْرَةِ النَّبِىِّ n نِسَاءَهُ فِى غَيْرِ بُيُوتِهِنَّ. ثم روى عن أم سلمة أَنَّ النَّبِىَّ n حَلَفَ لاَ يَدْخُلُ عَلَى بَعْضِ أَهْلِهِ شَهْرًا.

"Bab bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendiamkan para isteri beliau di luar rumah," kemudian al-Bukhâri meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersumpah untuk tidak masuk ke rumah sebagian isteri beliau selama sebulan". [Shahîh al-Bukhâri, 5202. Lihat al-Maktabah asy-Syamilah]

Suami hendaklah mempertimbangkan dengan matang bentuk dan waktu hajr yang dilakukan dengan melihat besar kecilnya kesalahan, kebutuhan dan manfaat yang diharapkan dari hajr tersebut.

BATASAN MEMUKUL ISTERI
Ayat 34 surat an-Nisâ` di atas menjelaskan bolehnya seorang suami memukul isterinya jika diperlukan. Ummu Kultsum binti Abu Bakr ash-Shiddiq meriwayatkan:

كَانَ الرِّجَالُ نُهُوا عَنْ ضَرْبِ النِّسَاءِ ثُمَّ شَكُوهُنَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ n فَخَلَّى بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ ضَرْبِهِنَّ

"Awalnya para suami dilarang untuk memukul para isteri. Kemudian mereka melaporkan isteri-isteri mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau membolehkan memukul mereka".[HR al-Baihaqi, 7/304]

Maksudnya, ialah pukulan yang ringan. Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Bukhaari mengatakan, maksudnya ialah pukulan yang ghairu mubarrih (tidak melukai).

Kemudian al-Bukhâri meriwayatkan dari 'Abdullah bin Zam'ah, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِى آخِرِ الْيَوْمِ

"Janganlah seorang di antara kalian mencambuk isterinya sebagaimana mencambuk budak, kemudian berhubungan dengannya di akhir hari" [Shahîh al-Bukhâri, 5204. Lihat al-Maktabah asy-Syamilah]

Hendaklah pukulan juga tidak dilakukan di wajah. Dalam hadits tentang hak-hak isteri atas suami, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ولا يَضرِبِ الوَجْهَ ، وَلاَ يُقبِّحْ

"Janganlah suami memukul wajah, dan jangan mengatakan qabbahakillah (semoga Allah menjadikanmu jelek)" [HR Abu Dawud, an-Nasâi dan Ibnu Majah, dishahîhkan Ibnu Hibban, al-Hakim dan Syaikh al-Albâni]

CONTOH-CONTOH KDRT
Dari sini jelas dapat dibedakan antara ketegasan dan hukuman dengan KDRT, sebab KDRT merupakan tindakan yang berlebihan dari ukuran dan ketetapan syari'at. Oleh karena itu hendaklah dilihat kembali semua kasus KDRT yang ada, menimbangknya dengan syari'at Islam yang memiliki kelengkapan dan keindahan, sehingga tidak salah dalam memutuskan dan menyimpulkannya. Terlebih pada zaman jauhnya kaum muslimin dari agamanya dan isu-isu kesamaan gender sedang dipropagandakan pada semua sendi untuk semakin menjauhkan kaum muslimin dari agamanya.

Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan beberapa contoh yang bisa dikategorikan sebagai KDRT, antara lain:

1. Menjadikan pukulan atau hajr sebagai jalan pertama dalam menyelesaikan masalah rumah tangga.
2. Mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, seperti qabbahakillah (semoga Allah menjadikanmu jelek).
3. Mendiamkan isteri di luar rumah tanpa keperluan.
4. Memukul wajah.
5. Memukul di luar batas kewajaran.

Ingatlah syari'at islam tidak membolehkan dan tidak mensyariatkan kecuali untuk kebaikan manusia seluruhnya, dan tidak melarang kecuali perkara yang merusak dan mengganggu manusia. Karena itu, marilah kembali merujuk kepada Islam dalam melihat dan mengamalkan semua amalan keseharian kita. Sebagai penutup kita perlu memperhatikan dua hal dibawah ini.

Pertama, Sabar Menghadapi Isteri.
Bahtera rumah tangga tidak dapat berjalan dengan baik jika pasangan suami isteri tidak memiliki kesabaran di antara mereka. Hal ini juga diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya:

"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" [an-Nisâ`/4:19].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ

"Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Jika ia tidak suka dengan salah satu perangainya, tentu ia suka perangai yang lainnya" [Muslim, 2672]

Tidak semestinya suami menjadikan setiap kesalahan istri sebagai sebab untuk melampiaskan amarah. Hendaklah kita mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang oleh isteri beliau, 'Aisyah Radhiyallahu 'anha disifati sebagai berikut:

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , sama sekali tidak pernah memukul sesuatu dengan tangan beliau, tidak juga pernah memukul wanita atau pembantu, kecuali dalam jihad fi sabilillah. Dan tidaklah beliau pernah disakiti kemudian membalas dendam; tetapi jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau membalas karena Allah" [HR Muslim, 2328]

Al-Alusi rahimahullah berkata: "Dan jelas, bahwasanya menahan diri dan sabar terhadap isteri lebih baik daripada memukul mereka, kecuali jika ada alasan yang kuat".[9]

Kedua, Islam Menghormati dan Memuliakan Wanita.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Islam melarang KDRT, kecuali jika diperlukan untuk mewujudkan maslahat yang lebih besar, dan dengan batasan-batasan yang ketat. Hal seperti ini, kita istilahkan dengan ketegasan. Islam memberikan kedudukan sangat mulia kepada wanita. Banyak hal yang menunjukkan penghormatan tersebut.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan orang yang paling baik dalam umat ini ialah yang paling baik memperlakukan isterinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

"Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya; dan orang-orang terbaik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap isteri mereka" [HR at-Tirmidzi, 1195. Dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahîhah, 284]

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَلَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ

"Dan orang-orang terbaik di antara kalian tidak akan memukul" [HR al-Baihaqi, 7/304]

Salah seorang rawi hadits ini mengatakan:

وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم خَيْرَهُمْ كَانَ لاَ يَضْرِبُ

"Dan Rasulullah adalah yang terbaik di antara mereka, beliau tidak memukul". [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 5/223]

Hadits-hadits ini hendaklah menjadi pendorong munculnya rasa takut pada diri seorang muslim. Komitmen sebagian muslimin terhadap pokok-pokok ajaran Ahlus-Sunnah terkadang tidak diiringi dengan akhlak yang baik, termasuk kepada keluarga, khususnya isteri. KDRT masih sering terdengar dari rumah kita. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan hal ini sebagai parameter kedudukan kita di sisi Allah. Yang tidak berakhlak baik kepada isteri bukanlah golongan terbaik dalam umat ini.

Semoga Allah mengilhami kita untuk terus memperbaiki diri. Wallahu a'lam.

Maraaji`:
- Al-Jâmi' li Ahkâmil Qur'ân, Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, tahqîq Abdurrazzaq al-Mahdi, Maktabah ar-Rusyd, 1420 H.
- Durus Yaumiyyah.
- Fathul-Bâri, Ibnu Hajar al-'Asqalâni, Tahqîq: Abu Qutaibah al-Fariyabi, Dar Thaybah,1426 H.
- Nahwa Akhlaqissalaf fi Dhauil Kitab was-Sunnah, Salim bin 'Id al-Hilali.
- Rûhul Ma'âni fi Tafsîril Qur'ânil-'Azhîm was-Sab'il Matsâni, Syihâbuddîn al-Alusi, Dârul-Kutub al-'Ilmiyyah.
- Taisirul-Karimir-Rahman, Abdur-Rahman as-Sa'di, Muassasah ar-Risalah.
- Al-Maktabah asy-Syamilah, Divisi Rekaman Masjid Nabawi.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Rûhul Ma'âni, 3/23.
[2]. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân, 5/163.
[3]. Ibnu Hajar berkata: "Yakni puasa selain Ramadhan, atau puasa wajib diluar Ramadhan jika waktunya sempit". Lihat Fathul-Bari, 11/624.
[4]. Dalam sebagian riwayat disebutkan secara tegas "" فله نصف أجره . Lihat Fathul-Bari, 11/629.
[5]. Lihat Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 177.
[6]. Ibid.
[7]. 'Umdatul-Qari, Badruddin al-'Aini.
[8]. Ibid.
[9]. Rûhul-Ma'ani, 3/23.

Misi Yesus menurut Injil


Misi Yesus menurut Injil
-Yesus hanya diutus untuk umat Israel
imageMatius 10:5-6 Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada mereka: “Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.

Matius 15:24 Jawab Yesus: “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.”

-Dihari kiamat Yesus hanya akan menghakimi 12 suku Israel
Matius 19:28 Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. Misi Nabi Isa as menurut Al-Qur'an

- Nabi Isa hanya diutus untuk Bani Israil
Qs. Ali Imran : 45. (Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).
Qs. Ali Imran : 49. Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israel

Qs Ash-Shaff :6. Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu,

- Dihari kiamat Nabi Isa as hanya akan menjadi saksi terhadap bani Israel
Qs. An-Nisaa’ :159. Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka ( Bani Israel ).

Kesimpulan
Misi Nabi Isa as/Yesus menurut Injil dan Al-Qur'an
1. Isa as/Yesus diutus hanya untuk bangsa Israel
2. Dihari kiamat Isa as / Yesus hanya akan menghakimi suku Bani Israel
3. Yang berhak menjadi pengikut Yesus hanya orang-orang Israel
4. Orang-orang diluar bangsa Israel tidak dikenal Yesus

Bagaimana pandangan Kristen tentang perintah Yesus ? 
Kristen mengikuti ajaran Paulus dan menyimpang dari perintah Yesus. Yesus melarang murid-muridnya pergi ke Asia dan kebangsa-bangsa lain untuk menyebarkan ajarannya, tetapi Paulus malah berbuat sebaliknya.

Dalam Matius 10:5-6 dengan jelas Yesus mengatakan “Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain ...”. Tapi apa yang kita saksikan di lapangan saat ini kenyataannya sungguh berbeda. Kasus kristenisasi yang terjadi di negeri kita sangat gencar. Metode yang mereka gunakan pun sangat beragam, mulai dari pengamen di bus-bus hingga metode D3 (Dipacari, Dihamili, Dikristenkan).

Umat Kristen tidak mengikuti Yesus tapi mengikuti ajaran Paulus. Paulus tak lebih dari seorang penipu yang mengaku sebagai murid Yesus. Bahkan mengaku pula mendapat wahyu dari Tuhan. Dia menyatakan dirinya sebagai Rasul. 

Kisah Para Rasul 18:6 ...Mulai dari sekarang aku akan pergi kepada bangsa-bangsa lain.”

Kisah Para Rasul 22:21 Tetapi kata Tuhan kepadaku: Pergilah, sebab Aku akan mengutus engkau jauh dari sini kepada bangsa-bangsa lain.” 

Roma 11:13 Aku berkata kepada kamu, hai bangsa-bangsa bukan Yahudi. Justru karena aku adalah rasul untuk bangsa-bangsa bukan Yahudi, aku menganggap hal itu kemuliaan pelayananku,

Roma 1:5 Dengan perantaraan-Nya kami menerima kasih karunia dan jabatan rasul untuk menuntun semua bangsa, supaya mereka percaya dan taat kepada nama-Nya.

Roma 15:18 Sebab aku tidak akan berani berkata-kata tentang sesuatu yang lain, kecuali tentang apa yang telah dikerjakan Kristus olehku, yaitu untuk memimpin bangsa-bangsa lain kepada ketaatan, oleh perkataan dan perbuatan,

I Tesalonika 2:16 karena mereka mau menghalang-halangi kami memberitakan firman kepada bangsa-bangsa lain untuk keselamatan mereka.

Bagaimana tentang Amanat Agung ?
Matius 28:19 Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,.

Umat Kristen berpegang pada Amanat Agung dalam mendakwahkan agama Kristen. Ayat diatas dikatakan oleh Yesus setelah mati disalib. Kalau teks ayat diatas dianggap benar maka bertentangan dengan kata Yesus waktu sebelum disalib dalam Matius 10:5 dan Matius 15:24 (telah disebutkan diatas) dimana Yesus melarang murid-muridnya pergi ke bangsa lain tetapi hanya boleh pergi ke umat Israel yang hilang.

Ini adalah contoh ayat-ayat yang telah diubah oleh Gereja dengan tujuan agar sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk menghindari pencemaran Yesus yang dianggap tidak konsekwen maka dirombakklah kata-kata pada Matius 28:19. Yang seharusnya adalah " Maka pergilah kebangsa muridku baptiskanlah......". Berubah menjadi ”Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah.....”. Jadi sesungguhnya Yesus memerintah murid-muridnya untuk pergi ke bangsa murid-murid Yesus yaitu 12 suku bangsa Israel bukan keseluruh bangsa. 

Perombakan kata-kata pada Matius 28:19 ada kemungkinan untuk melegalisir perkataan Paulus bahwa Paulus akan mengajarkan ajarannya bahwa Yesus adalah Kristus kepada bangsa-bangsa lain diluar bangsa Israel seperti yang dikatakan Paulus pada :

Kisah rasul 18:5-6 Ketika Silas dan Timotius datang dari Makedonia, Paulus dengan sepenuhnya dapat memberitakan firman, di mana ia memberi kesaksian kepada orang-orang Yahudi, bahwa Yesus adalah Mesias. Tetapi ketika orang-orang itu memusuhi dia dan menghujat, ia mengebaskan debu dari pakaiannya dan berkata kepada mereka: “Biarlah darahmu tertumpah ke atas kepalamu sendiri; aku bersih, tidak bersalah. Mulai dari sekarang aku akan pergi kepada bangsa-bangsa lain.”

Jadi, menurut Al-Quran ajaran Yesus adalah hanya untuk Bani Israel. Menurut Injil pun demikian, bahwa risalah yang diemban Yesus hanya untuk bani Israel saja. Tapi surat-surat yang ditulis oleh Paulus (yang dijadikan bagian dalam teks Kitab Suci/Bibel) sangat bertentangan dengan ucapan Yesus. 

Ironisnya, ajaran yang diikuti oleh umat Kristen saat ini adalah apa yang diucapkan Paulus, bukan Yesus. Lalu pengikut siapakah mereka sesungguhnya ? Sudah jelas, umat Kristen bukan pengikut Yesus.

Insya Allah pada edisi berikutnya kita akan membahas tentang :
”Ajaran Yesus Pada Masa Hidupnya” 

Sumber : irenahandono.or.id


HUKUM BERJABAT TANGAN DENGAN KERABAT DAN MENCIUM MEREKA

up : Pambudi

HUKUM BERJABAT TANGAN DENGAN KERABAT DAN MENCIUM MEREKA
 
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
 
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya sering kali berkunjung kepada keluarga dan kerabat dekat saya, setelah perpisahan selama terkadang enam bulan dan terkadang satu tahun penuh. Sampai di rumah, para wanita baik kecil ataupun dewasa telah menyambut saya. Mereka mencium saya dengan malu-malu dan sebenarnya dapat dikatakan ini adalah adat yang sudah tersebar (mendarah daging) sekali bagi kami, dan tidak ada maksud apa-apa karena hal tersebut menurut mereka bukanlah suatu perbuatan haram. Tetapi saya yang alhamdulillah memperoleh sedikit pendidikan yang Islami, merasa bingung dalam masalah ini. Bagaimana saya bisa menolak ciuman mereka. Perlu diketahui kalau saya tidak menjabat tangan mereka, sungguh mereka akan marah besar kepada saya dan akan berkata : Dia tidak menghormati kita, tidak memuliakan kita dan tidak mencintai kita (cinta yang mengikat antara anggota keluarga bukan yang mengikat antara pemuda dan pemudi). Apakah saya melakukan maksiat apabila saya mencium mereka, perlu dipahami bahwa saya tidak mempunyai niat buruk dalam hal tersebut ?
 
Jawaban
Seorang muslim tidak diperbolehkan menjabat tangan atau mencium selain istrinya dan mahramnya, bahkan hal tersebut termasuk sesuatu yang diharamkan dan sebab-sebab terjadinya fitnah serta timbulnya perzinaan dan telah diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda.
 
Artinya : "Sesungguhnya saya tidak menjabat tangan wanita"
 
Aisyah berkata : "Tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan perempuan (bukan mahramnya) sama sekali. Ketika bai'at, mereka hanya maba'iatnya dengan perkataan"
 
Saya tidak membenarkan perbuatan berjabat tangan dengan wanita selain mahramnya dan menciumnya baik mereka adalah putri-putri paman dari bapak atau putri-putri paman dari ibu atau dari kabilah lainnya, semua itu diharamkan dengan ijma' kaum muslimin, dan termasuk sarana yang paling besar untuk terjadinya perzinahan yang diharamkan.
 
Maka wajib atas setiap orang muslim untuk berhati-hati dari perbuatan tersebut dan menjelaskan kepada semua kerabat dan selain mereka yang terbiasa dengan hal tersebut, bahwa hal tersebut adalah perbuatan yang diharamkan meskipun biasa dilakukan oleh manusia.
 
Setiap laki-laki muslim dan wanita muslimah tidak diperbolehkan untuk mengerjakannya meskipun keluarga dekat atau penduduk negaranya terbiasa melakukannya. Bahkan ia wajib menolak hal tersebut dan mengingatkan masyarakat dari hal tersebut. Dan cukup dengan mengucapakan salam tanpa berjabat tangan dan berciuman.
 
[Kitab Fatawa Da'wah, Syaikh Bin Baz, hal. 186], [Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq]
 
 

HUKUM BERJABAT TANGAN DENGAN WANITA TUA
 
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
 
Pertanyaan.
Bagaimana hukum berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah jika sudah lanjut usia?  Bagaimana pula jika wanita tersebut meletakkan kain atau semisalnya sebagai penyekat telapak tangannya ?
 
Jawaban
Seorang pria dilarang secara mutlak berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, baik yang masih muda maupun sudah tua, baik yang menjabat tangannya adalah seorang pemuda maupun kakek tua, karena tindakan itu bisa menimbulkan fitnah bagi keduanya.
 
Selain itu, ada sebuah hadits shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
 
"Artinya : Sesungguhnya, aku tidak berjabat tangan dengan wanita".
 
Aisyah Radhiallahu anha berkata :
 
"Artinya : Demi Allah, tangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita. Beliau tidak membai'at kaum wanita, kecuali dengan ucapan".
 
Tidak ada perbedaan, apakah wanita itu berjabat tangan dengan memakai penutup ataukah tanpa penutup, dikarenakan keumuman dalil-dalil tersebut dan untuk menutup pintu-pintu yang menjerumuskan kepada fitnah. Wallahu Waliyyut Taufik
 
[Disalin dari kitab Fatawa An-Nazhar wal Khalwat wal Ikhtilath edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Memandang, Berkhalwat, hal. 23-24, terbitan At-Tbyan]
 
 

Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
 
Didik Abu Dzaky
e-mail: didik@shintatex.com